Rasisme dan penghinaan terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) merupakan masalah sosial yang cukup serius di Indonesia. Walaupun negara ini memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, kenyataannya masih banyak orang yang terlibat dalam tindakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Banyak faktor yang memengaruhi fenomena ini, dan untuk lebih memahami masalah ini, berikut adalah beberapa alasan utama mengapa masih ada orang Indonesia yang terjebak dalam perilaku rasis dan suka menghina SARA.
1. Kurangnya Pemahaman dan Pendidikan Multikulturalisme
Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang luar biasa, baik dari segi suku, agama, ras, maupun budaya. Namun, di banyak tempat, pendidikan tentang multikulturalisme dan toleransi masih sangat terbatas. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya hidup berdampingan dengan perbedaan, stereotip dan prasangka negatif terhadap kelompok tertentu seringkali terbentuk. Pendidikan formal dan non-formal yang memadai sangat penting untuk menumbuhkan sikap saling menghargai dan memahami perbedaan.
2. Pengaruh Lingkungan Sosial dan Budaya
Lingkungan tempat seseorang tumbuh besar berpengaruh besar terhadap sikap dan pandangan hidup mereka. Jika seseorang berada dalam lingkungan yang cenderung menanamkan pemikiran diskriminatif, mereka mungkin lebih mudah untuk menganggap perbedaan sebagai ancaman atau hal yang negatif. Misalnya, dalam beberapa komunitas yang sangat homogen, perbedaan agama atau ras bisa dianggap sebagai hal yang asing dan membingungkan. Ketidaktahuan terhadap keragaman sering kali menjadi dasar dari rasa takut dan kebencian terhadap yang berbeda.
3. Media Sosial dan Penyebaran Informasi Palsu
Kemajuan teknologi dan munculnya media sosial juga memainkan peran besar dalam penyebaran ujaran kebencian dan rasisme. Di internet, orang bisa dengan mudah menyebarkan pandangan mereka tanpa ada kontrol yang ketat. Berbagai platform media sosial sering digunakan untuk menyebarkan konten-konten yang menyinggung SARA, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Banyaknya berita palsu atau hoaks yang mengaitkan perbedaan suku, agama, atau ras dengan masalah sosial atau politik tertentu juga memperburuk kondisi ini. Masyarakat yang tidak kritis dalam mengonsumsi informasi rentan untuk terpengaruh oleh pandangan yang intoleran.
4. Politik Identitas dan Manipulasi Kelompok
Dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas semakin muncul sebagai fenomena yang memecah belah masyarakat Indonesia. Beberapa pihak menggunakan perbedaan SARA untuk meraih keuntungan politik, dengan cara memanipulasi sentimen kelompok tertentu untuk mendapatkan dukungan. Kampanye yang mengutamakan perbedaan rasial atau agama sering kali menekankan kesenjangan di antara kelompok yang berbeda, yang menyebabkan ketegangan sosial dan memperburuk rasa saling curiga. Ketika politik memanfaatkan isu-isu SARA, hal ini bisa memicu konflik yang lebih besar di tingkat masyarakat.
5. Kurangnya Penegakan Hukum terhadap Diskriminasi
Sementara undang-undang mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penanggulangan diskriminasi sudah ada, implementasi hukum tersebut masih belum sepenuhnya efektif. Banyak kasus diskriminasi dan ujaran kebencian yang tidak ditindaklanjuti dengan tegas. Ketidakseriusan dalam penegakan hukum memberi kesan bahwa tindakan diskriminatif bisa dilakukan tanpa konsekuensi yang berarti. Padahal, penegakan hukum yang tegas bisa memberikan efek jera dan menurunkan tingkat rasisme di masyarakat.
6. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
Ketimpangan sosial dan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang mendasari terjadinya rasisme. Ketika seseorang merasa terancam dalam aspek ekonomi atau sosial, mereka cenderung mencari kambing hitam untuk menyalahkan atas kesulitan yang mereka alami. Dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok tertentu bisa dipandang sebagai penyebab dari ketidakadilan sosial tersebut, sehingga muncul stereotip dan stigma negatif. Kondisi ini memperburuk polarisasi sosial dan memperburuk saling ketidakpercayaan antar kelompok.
7. Tradisi dan Norma yang Menghargai Hierarki
Di beberapa budaya Indonesia, terdapat norma yang menekankan pada hierarki sosial yang kaku. Suku, agama, dan ras yang dianggap “berbeda” seringkali dipandang lebih rendah atau tidak setara dengan kelompok dominan. Dalam beberapa kasus, perilaku rasisme ini sudah menjadi bagian dari kebiasaan yang diwariskan turun-temurun, bahkan tanpa disadari. Ketika norma-norma ini diteruskan tanpa adanya kesadaran akan pentingnya kesetaraan, tindakan diskriminatif menjadi hal yang dianggap wajar.
Rasisme dan penghinaan terhadap SARA di Indonesia bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan cepat. Ini adalah masalah sosial yang kompleks yang melibatkan banyak faktor, mulai dari pendidikan, lingkungan sosial, hingga pengaruh politik dan ekonomi. Untuk mengurangi rasisme, diperlukan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan individu, untuk meningkatkan kesadaran, memperkuat toleransi, dan menegakkan hukum dengan tegas. Hanya dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan, Indonesia bisa mewujudkan kehidupan yang lebih damai dan harmonis bagi semua warganya.